Bukittinggi
Diberdayakan oleh Blogger.

Latest Post

Jam Gadang, Kini Tanpa Patung Hermes dan Harimau

Written By wisata on Senin, 21 Mei 2012 | 09.23



KOMPAS.com -- London boleh bangga punya Big Ben, tapi Bukitinggi boleh lebih berbangga, tak hanya punya Jam Gadang (Jam Besar), tapi juga pemandangan alam yang tak terbandingkan. Tengok saja Ngarai Sianok, dengan Goa/Lubang Jepang-nya. Belum lagi sederet gunung yang melingkari kota ini.

Sebagai tengara kota, Jam Gadang setinggi 26 meter ini dibikin oleh putera Bukittinggi, Yazid Sutan Gigiameh. Dari paparan tim Rehabilitasi Jam Gadang, disebutkan, Jam Gadang dibangun oleh opzichter (arsitek) bernama Yazid Abidin (Angku Acik) yang berasal dari Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam.

Jam yang merupakan hadiah Ratu Belanda kepada Controleur Oud Agam (sekretaris kota), HR Rookmaker, ini dibangun di “bukit tertinggi” (Bukik Nan Tatinggi) dan menghadap ke arah Gunung Merapi. Jam Besar ini didatangkan dari Rotterdam, Belanda, melalui Teluk Bayur (1926). Mesin Jam Gadang hanya ada dua di dunia, satu lagi tak lain adalah Big Ben.

Pada paparan tim, disebutkan pula, bangunan tersebut dibuat tanpa menggunakan besi peyangga dan adukan semen. Campurannya hanya kapur, putih telur, dan pasir putih. Ruangan bawah Jam Gadang pernah dimanfaatkan sebagai loket karcis terminal, pos polisi, dan gudang pada 1970.

Bentuk klokkentoren, menara jam, demikian Jam Gadang disebut dalam literatur Belanda, berbentuk empat persegi dengan jam di masing-masing sisi puncak. Sebetulnya, di zaman Belanda, toren alias menara itu dibangun untuk mengintai gerak-gerik pengikut Imam Bonjol semasa Perang Paderi.

Puncak Jam Gadang mengalami tiga kali perubahan. Semula puncak Jam Gadang dibuat setengah lingkaran seperti kubah masjid. Di atasnya dipasang patung ayam jago, menghadap arah timur, yang sedang berkokok. Sengaja dibikin demikian untuk menyindir masyarakat Agam Tuo yang kesiangan, demikian ditulis Zulqayyim dalam buku “Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia”.

Di zaman Jepang, puncak Jam Gadang berubah lagi. Sesuai selera Jepang. Maka Jam Gadang di zaman Jepang berbentuk atap bertingkat menyerupai Pagoda. Di masa kemerdekaan, atap itu diganti dengan gonjong rumah adat seperti rumah adat Minangkabau.

Di masa awal, di sisi kanan dari taman Jam Gadang ini (berhadapan dengan Jam Gadang sisi depan) terdapat Patung Hermes di atas semacam tiang/tonggak dan juga patung harimau. Namun sudah tak terlacak lagi ke mana kedua patung itu dan kapan mereka hilang.

Dalam pertemuan antara Wakil Rektor Universitas Bung Hatta, Padang, Eko Alvarez, dengan rombongan dari Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) yaitu dewan pimpinannya, Pia Alisjahbana dan Han Awal, serta Direktur Eksekutif BPPI, Catrini Kubontubuh; serta arkeolog Hardini Sukmono, persoalan Hermes juga mengemuka.

Bahkan kemudian dalam acara Sosialisasi Rehabilitasi Jam Gadang di Bukittinggi beberapa waktu lalu, masalah keberadaan kedua patung itu juga diangkat. Namun tentu saja jawabannya tak bisa langsung didapat. Salah satu tetua adat menyatakan, harimau adalah perlambang Agam.
Angka empat pada Jam Gadang yang menggunakan sistem Romawi, juga sering disinggung dengan urusan mistik. Angka empat pada sistem penomoran Romawi harusnya ditulis IV namun pada Jam Gadang, angka empat ditulis IIII. Beberapa sumber menyebutkan, penomoran itu dimungkinkan karena si pembuat tak terlalu paham dengan sistem angka Romawi atau memang sengaja dibikin demikian agar tak membingungkan jika angka-angka itu menghadap ke luar, bukan menghadap ke arah jam (arah dalam). Di luar urusan angka jam, kesahalan tulis seperti itu sering terjadi di belahan dunia manapun, seperti angka 9 yang ditulis VIIII (harusnya IX) atau angka 28 yang ditulis XXIIX (seharusnya XXVIII).

Jam ini masih tetap beroperasi. Dentingnya masih bisa didengar setiap jam. Bahkan kini, dari puncaknya juga akan selalu terdengar suara pengawas mengingatkan warga agar tak membuang sampah sembarangan. Di masa puasa, denting jam ini juga berfungsi sebagai penanda imsak dan berbuka puasa.

Memang, tempat sampah mudah sekali ditemukan di taman sekitar Jam Gadang. Alhasil, taman ini terlihat bersih. Dan tak ada bau pesing di sana. Pasalnya, taman mungil ini juga dilengkapi dengan WC umum. Kini WC umum itu sedang direnovasi.

Saat pertama Jam Gadang dibangun, 1926, lingkungan sekitar tak ketinggalan ikut dihidupkan. Ada terminal bus, bangunan kantor Asisten Residen Afdeeling Padangsche Bovenlanden – kini jadi kompleks Istana Negara Bung Hatta. Di sisi barat, pom bensin, kantor polisi, dan kantor Controleur Oud Agam. Tempat perhentian bendi atau dokar pun disiapkan. Kemudian tak jauh dari perhentian bendi terdapat Loih Galuang serta beberapa loods (los), orang Minangkabau menyebut loih, lain.

Loih Galuang (Los Melengkung) dibangun pada 1890. Los lain juga dibangun untuk pedagang kelontong, kain, juga daging dan ikan. Penataan pasar dilakukan di awal abad 20 oleh Sekretaris Kota Agam Tuo (Controleur Oud Agam) LC Westenenk.

Bukittinggi, kota kelahiran Proklamator RI, Bung Hatta, di masa Jepang, menjadi pusat pengendalian militer untuk kawasan Sumatera. Nama Stadsgemeente Fort de Kock diubah menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho. Di masa perjuangan kemerdekaan, kota ini ditunjuk sebagai Ibu Kota Pemerintahan Darurat RI setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada 1948-1949. Kota ini juga pernah ditetapkan sebagai ibu kota provinsi Sumatera dan Sumatera Tengah.
WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto
sumber : www1.kompas.com

Bukittinggi, Fort de Kock, Berawal dari Pasar


Salah Satu pemandangan di Kota Bukittinggi

KOMPAS.com -- Parijs van Sumatra adalah sebutan dua kota di Sumatera pada masa kolonial. Di pulau Jawa, Bandung-lah yang mendapat julukan Parijs van Java. Tak lain karena pemandangan nan indah, pegunungan, berkelok-kelok, dan cuaca yang sejuk. Di Pulau Sumatera, Medan (Sumatera Utara) dan Bukittinggi (Sumatera Barat) mendapat julukan seperti tersebut di atas. Kali ini, giliran Parijs van Sumatra yang di Bukittinggi. Kota dengan liukan pegunungan nan elok, pemandangan hijau royo-royo, ngarai, serta Tri Arga (tiga gunung) yaitu Gunung Merapi – gunung tertinggi di Sumatera Barat – Gunung Singgalang, dan Sago.

Sebenarnya tak hanya tiga gunung itu yang mengelilingi Bukittinggi. Tapi ada 27 bukit lain yang membuat Bukittinggi begitu sejuk dan cantik. Istana Negara di kota ini juga dinamakan Tri Arga dan kemudian menjadi Istana Negara Bung Hatta.

Bukittinggi ada di 91 km sebelah utara kota pesisir Padang di mana terdapat Pelabuhan Teluk Bayur dan Bandar Udara Tabing. Untuk menuju ke Bukittinggi yang berada di dataran tinggi, baik jalan raya maupun jalur kereta api harus melalui banyak tanjakan dan tikungan. Belanda sudah membangun jalan raya Padang-Bukittinggi pada 1833 sedangkan jalur kereta api pada 1890. Seperti di Ambarawa, jalur kereta api Padang-Bukittinggi juga mempunya tiga rel karena jalur tersebut menanjak.
Gunung Merapi Dilihat dari Kota Bukittinggi

Kini, jalur kereta api sudah berganti dengan bus tapi jalur kereta api masih bisa terlihat mengular. Sayangnya semua itu tinggal kenangan.

Tiba di Bukittinggi, siapapun yang terbiasa hidup dengan cuaca Jakarta pasti akan sedikit bergidik. Suhu udara berkisar antara 19-23 derajat Celcius. Sejuk sangat, dengan udara yang masih bersih, langit siang hari yang begitu cerah. Suasana dan cuaca di pagi hari, sekitar pukul 07.30, masih terasa sepi, tenang, nyaman, sejuk. Berbeda dengan Jakarta yang tak pernah berhenti dari kesibukan dengan polusi yang bikin langit Jakarta seakan mendung.

Sebagai Parijs van Sumatra - dengan pemandangan elok, maka wisatawan yang datang ke tempat ini pasti tak akan melewatkan Ngarai Sianok. Decak kagum pastilah keluar dari mulut siapapun yang pertama kali melihat Ngarai Sianok yang berkelok-kelok dengan Sungai Batang Sianok mengalir di dasarnya.

Dalam Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia, Zulqayyim, staf pengajar jurusan sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, menulis tentang “Pembangunan Infrastruktur Kota Bukittinggi Masa Kolonial Belanda”. Dalam tulisan itu ia menyertakan sejarah berdirinya Bukittinggi yang dimulai dari sebuah pasar yang didirikan dan dikelola oleh para penghulu Nagari Kurai.

Pada awalnya pasar, atau orang Minangkabau menyebutnya sebagai pakan, itu hanya dibuka tiap Sabtu, setelah makian ramai, maka ditambah dengan hari Rabu. Karena pasar itu terletak di salah satu bukik nan tatinggi (bukit yang tertinggi) maka kemudian jadilah sebutan Bukittinggi untuk pasar sekaligus Nagari Kurai itu. Nama pasar itu kini menjadi Pasar Atas (Pasar Ateh) dan berada di jantung kota ini.

Dalam referensi lain disebutkan, pasar tersebut berdiri di atas tempat bernama Bukik Kubangan Kabau. Pada tahun 1820 diadakan pertemuan adat suku Kurai untuk mengganti nama Bukik Kubangan Kabau menjadi Bukik Nan Tatinggi. Nama bukik (bukit) yang terakhir itulah yang kemudian menjadi Bukittinggi. Nama Pasar Kurai menjadi Pasar Bukittinggi.

Bagi Belanda, setelah perjanjian Plakat Panjang 1833, menjadikan pusat kegiatan ekonomi Fort de Kock. Nagari Kurai adalah salah satu nagari yang ada di daerah Luhak (kabupaten) Agam dan terdiri atas Lima Jorong. Jauh sebelum kedatangan Belanda di Dataran Tinggi Agam, 1823, Pasar Bukittinggi sudah ramai didatangi penduduk.

Pada sekitar 1825-1826, Kepala Opsir Militer Belanda untuk Dataran Tinggi Agam, Kapten Bauer, mendirikan benteng Fort de Kock di Bukit Jirek – 300 meter sebelah utara Pasar Bukitinggi. Nama Fort de Kock diambil dari nama Komandan Militer dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda Baron Hendrik Markus de Kock. Benteng itu dibangun untuk membantu Kaum Adat menghadapi Kaum Paderi (Agama). Sejak itu pemerintah Hindia Belanda menyebut kawasan itu sebagai Fort de Kock sedangkan warga Minangkabau tetap menyebut Bukittinggi.
WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto

sumber : www1.kompas.com

Ngarai Sianok

Written By wisata on Minggu, 08 April 2012 | 22.30


Ngarai Sianok
Ngarai Sianok adalah sebuah lembah curam (jurang) yang terletak di perbatasan kota Bukittinggi, di kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Lembah ini memanjang dan berkelok sebagai garis batas kota dari selatan ngarai Koto Gadang sampai ke nagari Sianok Anam Suku, dan berakhir di kecamatan Palupuh. Ngarai Sianok memiliki pemandangan yang sangat indah dan juga menjadi salah satu objek wisata andalan provinsi.
Ngarai Sianok yang dalam jurangnya sekitar 100 m ini, membentang sepanjang 15 km dengan lebar sekitar 200 m, dan merupakan bagian dari patahan yang memisahkan pulau Sumatera menjadi dua bagian memanjang (patahan Semangko). Patahan ini membentuk dinding yang curam, bahkan tegak lurus dan membentuk lembah yang hijau—hasil dari gerakan turun kulit bumi (sinklinal)—yang dialiri Batang Sianok (batang berarti sungai, dalam bahasa Minangkabau) yang airnya jernih. Di zaman kolonial Belanda, jurang ini disebut juga sebagai kerbau sanget, karena banyaknya kerbau liar yang hidup bebas di dasar ngarai ini.
Batang Sianok kini bisa diarungi dengan menggunakan kano dan kayak yang disaranai oleh suatu organisasi olahraga air "Qurays". Rute yang ditempuh adalah dari nagari Lambah sampai jorong Sitingkai nagari Palupuh selama kira-kira 3,5 jam. Di tepiannya masih banyak dijumpai tumbuhan langka seperti rafflesia dan tumbuhan obat-obatan. Fauna yang dijumpai misalnya monyet ekor panjang, siamang, simpai, rusa, babi hutan, macan tutul, dan juga tapir.
sumber : http://id.wikipedia.org
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Bukittinggi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger